Perjalanan Hijrah Seorang Pengamat Politik Dadakan
Assalamualaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh
Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Asholatu Wassalamu Ala Rasulillah wa Ala Alihi wa Shohbihi Ajmain. Amma Badu.
Tahun 2014, tergelar sebuah 'pesta demokrasi akbar' di seluruh jagat Indonesia. Dari ujung timur hingga barat, semua media memberitakan tentang hal ini, yaitu Pemilihan Presiden atau Pilpres 2014.
Situasi politik memanas ketika hanya disahkan 2 kandidat calon pemimpin bangsa. Para pengamat politik 'berpesta' atas kelahiran topik pembicaraan terbaru. Para pemuda bangsa tak sedikit yang muncul ke permukaan sebagai pengamat politik dadakan via sosmed.
Saya termasuk salah satunya. Tugas sekolah yang tidak terlalu merepotkan memberi banyak waktu luang di depan gadget bekas saya. Setiap hari selalu saya nantikan saat-saat ketika bisa membuka laptop dan menyalakan koneksi internet lalu membuka Facebook dan Twitter.
Betapa memanasnya kondisi sosmed ketika itu. Setiap hari selalu ada artikel provokatif menempel di beranda. Provokasi dari berbagai pihak selalu membakar semangat para pengamat dadakan ini, termasuk saya sendiri.
Situasi ini jelas berbeda dengan 3 tahun sebelumnya, dimana internet dan sosmed telah booming dengan Facebook dan Twitter sebagai tempat curhat anak muda hanya tentang percintaan dan cerita-cerita lucu. Saat itu, belum ada penggiringan opini secara masif tentang agama, apalagi politik.
Saya sendiri termasuk orang yang paling suka berkomentar dan men-share suatu berita atau thread opini yang saya anggap paling benar, yang tentu tanpa saya sadari menggunakan nada tulisan yang sangat amatir dan provokatis.
Di tengah hiruk-pikuk Pilpres yang sangat panas itu, banyak sekali solusi-solusi politik yang ditawarkan oleh berbagai kubu. Yang katanya biar harga-harga tidak naik lah, yang katanya biar tidak terjadi kesenjangan sosial yang tinggi lah, dan banyak sekali yang lainnya. Dari masalah internal keluarga hingga masalah internasional. Yah, hal seperti ini sangat sering kita lihat ketika menjelang Pemilu. Ibaratnya, sudah jadi rahasia umum kalau para kandidat calon pejabat itu pasti memberi 'kata-kata manis' agar mereka terpilih.
Namun, ada satu kubu yang selalu memberi solusi kapanpun dan dimanapun. Tidak hanya ketika menjelang pemilu maupun ketika statusnya masih 'kandidat calon'. Mereka adalah kubu agamis. Terutama kubu masyarakat beragama Islam.
Orang-orang Islam ini, mereka selalu memberi solusi berbagai permasalahan. Tidak peduli dimana dan kapan atau via apa. Dari masalah internal keluarga hingga masalah internasional. Namun tentu, situasi politik yang kian memanas kala itu justru mereka gunakan untuk semakin masif mendakwahkan solusi-solusi ala Islam.
Setelah mempelajarinya, saya terkagum. Ketika berbagai kubu saling memberi solusi ala mereka, ternyata solusi Islam merupakan solusi yang paling masuk akal, mudah dilaksanakan, dan berdampak paling baik. Hal ini tentu terlepas dari kewajiban saya mengimani bahwa Islam memang merupakan pedoman hidup dan solusi terbaik, karena ketika itu saya bukanlah orang yang tertarik dalam mendalami agama.
Sejak saat itu, saya tertarik untuk mempelajari lebih dalam solusi-solusi ala Islam yang ditawarkan oleh beberapa kenalan saya. Hal itu membuat saya lebih tertarik membaca opini Islam ketimbang opini dari parpol atau timses.
Namun, tentu itu tidak menghilangkan status saya sebagai 'pengamat dadakan'. Saya tetaplah orang yang masih amatir, muda, labil, dan mudah terprovokasi. Maka tak heran, jika saya lantas menjadi benci dengan salah satu kubu yang saya anggap 'tidak pro solusi Islam' dan saya cenderung mendukung kubu yang saya anggap 'lebih pro solusi Islam'.
Hari demi hari berlalu, Pilpres sudah lewat, presiden yang sah telah terpilih, saya memutuskan untuk merenung. Saya membuka kembali berbagai postingan dan komentar saya di sosmed. Subhanallah, rasanya malu. Meski tidak semua postingan saya berisi informasi salah atau opini yang mengandung logical fallacy, tetap saja banyak sekali yang ditulis dengan nada amatir dan terasa amat prematur untuk saya berbicara seperti itu di depan publik. Apalagi akun saya itu sudah berteman dengan akun teman-teman sekolah dan alumni. Saya memutuskan untuk menghapus postingan-postingan yang saya anggap tidak baik lalu saya menutup akun saya dan mengganti dengan akun yang baru. Meski akun saya baru, tetapi semangat saya akan mempelajari solusi Islam tetap tidak luntur.
Masih belajar kepada orang-orang yang menawarkan solusi Islam ini. Mereka mengatakan kepada saya bahwa kebenaran tidak mengenal siapa yang berbicara. Orang seburuk apapun pendidikannya apapun agamanya, jika dia mengatakan kebenaran, maka itulah kebenaran. Sebaliknya, setinggi apapun pendidikan dan jabatannya, apapun agamanya, jika dia berkata hal yang salah, maka itulah kesalahan dan keburukan. Mereka mengajarkan kepada saya untuk tidak membenci siapapun yang bersebrangan dengan saya, karena bisa jadi mereka yang lebih benar.
Saat ini, alhamdulillah. Orang-orang seperti ini bertambah banyak jumlahnya. Mungkin dulu mereka tidak menggunakan sosmed, tapi sekarang mereka berlomba-lomba menebar kebaikan di sosmed. Alhamdulillah. Tidak sulit untuk menemukan mereka.
Kini hidup saya semakin nikmat. Saya merasakan indahnya Islam dan Iman. Saya merasakan kedamaian dan ketentraman ketika mendekatkan diri kepada Allah, dalam ibadah maupun dalam muamalah. Menerapkan syariat Ibadah Allah itu sudah sangat menyejukkan hati, apalagi jika menerapkan syariat muamalahnya juga, setiap hari, dimanapun, bersama orang-orang yang mencintai Allah juga.
Ini bukan agama teroris, ini bukan agama ekstrimis yang barbar dan tidak tahu diri. Ini adalah agama pembawa kebenaran dan kebaikan. Cobalah khusyuk dalam sholatmu, cobalah serahkan pikiran dan hatimu kepada Al-Quran dan As-Sunnah, Insyaa Allah, Allah akan berikan ketentraman dan kedamaian.
Masih belajar kepada orang-orang yang menawarkan solusi Islam ini. Mereka mengatakan kepada saya bahwa kebenaran tidak mengenal siapa yang berbicara. Orang seburuk apapun pendidikannya apapun agamanya, jika dia mengatakan kebenaran, maka itulah kebenaran. Sebaliknya, setinggi apapun pendidikan dan jabatannya, apapun agamanya, jika dia berkata hal yang salah, maka itulah kesalahan dan keburukan. Mereka mengajarkan kepada saya untuk tidak membenci siapapun yang bersebrangan dengan saya, karena bisa jadi mereka yang lebih benar.
Saat ini, alhamdulillah. Orang-orang seperti ini bertambah banyak jumlahnya. Mungkin dulu mereka tidak menggunakan sosmed, tapi sekarang mereka berlomba-lomba menebar kebaikan di sosmed. Alhamdulillah. Tidak sulit untuk menemukan mereka.
Kini hidup saya semakin nikmat. Saya merasakan indahnya Islam dan Iman. Saya merasakan kedamaian dan ketentraman ketika mendekatkan diri kepada Allah, dalam ibadah maupun dalam muamalah. Menerapkan syariat Ibadah Allah itu sudah sangat menyejukkan hati, apalagi jika menerapkan syariat muamalahnya juga, setiap hari, dimanapun, bersama orang-orang yang mencintai Allah juga.
Saudara saudariku, janganlah takut untuk berhijrah.
Ini bukan agama teroris, ini bukan agama ekstrimis yang barbar dan tidak tahu diri. Ini adalah agama pembawa kebenaran dan kebaikan. Cobalah khusyuk dalam sholatmu, cobalah serahkan pikiran dan hatimu kepada Al-Quran dan As-Sunnah, Insyaa Allah, Allah akan berikan ketentraman dan kedamaian.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar